Sunday, 11 August 2019

Jadi Arif Kedudukan Aturan Nikah Siri Dalam Islam Dan Negara Perspektif Positif


Dari sudut pandang aturan yang berlaku di Indonesia baik dalam aturan islam atau aturan negara, nikah siri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara sah berdasarkan aturan agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan, nikah sirri yakni ijab kabul illegal dan tidak sah.

Bagi kalangan umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang mengakibatkan perkawinan mereka sah berdasarkan aturan positif, yaitu: pertama, perkawinan harus dilakukan berdasarkan aturan Islam, dan kedua, setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menimbulkan perkawinan batal atau setidaknya cacat aturan dan sanggup dibatalkan.

Akan tetapi kalau ketentuan pasal tersebut masih dipahami sebagai syarat alternative, maka perkawinan dianggap sah meskipun hanya dilakukan berdasarkan aturan agama dan tidak dicatatkan di KUA. Permasalahan aturan mengenai sah atau tidaknya suatu perkawinan yang tidak dicatatkan akan selalu menjadi polemic berkepanjangan bila ketentuan undang-undangnya sendiri tidak mengaturnya secara tegas. Dalam arti kewajiban pencatatan tersebut harus dinyatakan secara tegas dan disertai hukuman bagi yang melanggarnya.

Bagi umat Islam, kepentingan pencatatan itu sendiri bahwasanya memiliki dasar aturan Islam yang berpengaruh mengingat perkawinan yakni suatu ikatan perjanjian luhur dan merupakan perbuatan aturan tingkat tinggi. Artinya, Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu merupakan perjanjian yang sangat berpengaruh (mitsaqan ghalidhan).

Bagaimana mungkin sebuah ikatan yang sangat berpengaruh dipandang enteng? Mengapa nalar sebagian umat Islam terhadap wajibnya pencatatan perkawinan menyerupai mengalami distorsi? Perlu kita yakinkan kepada umat Islam bahwa pencatatan perkawinan hukumnya wajib syar’i. Sungguh sangat keliru apabila perkawinan bagi umat Islam tidak dicatatkan sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku.

Sedangkan ikatan perjanjian biasa, contohnya semacam utang piutang di forum perbankan atau jual beli tanah contohnya saja perlu dicatat, mengapa ikatan perkawinan yang merupakan perjanjian luhur dibiarkan berlangsung begitu saja tanpa adanya pencatatan oleh pejabat yang berwenang. Adalah ironi bagi umat Islam yang pemikiran agamanya mengedepankan ketertiban dan keteraturan tapi mereka mengebaikannya.

Allah SWT berfirman dalam QS. An Nisa’ Ayat: 59 yang berbunyi sebagai berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jikalau kau berlainan pendapat wacana sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jikalau kau benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Berdasarkan dalil Firman Allah SWT tersebut di atas, sanggup ditarik garis tegas wacana adanya beban aturan “wajib” bagi orang-orang yang beriman untuk taat kepada Allah dan taat kepada Rasul SAW dan juga taat kepada Ulil Amri. Sampai pada tahapan ini kita semua setuju bahwa sebagai umat yang beriman memikul tanggung jawab secara imperative (wajib) sesuai perintah Allah SWT tersebut.

Akan tetapi dikala perintah taat kepada Ulil Amri diposisikan sebagai wajib taat kepada pemerintah, otomatis termasuk di dalamnya perintah untuk mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai pencatatan pernikahan, maka oleh sebagian umat Islam sendiri terjadi penolakan terhadap pemahaman tersebut sehingga masalah ijab kabul di bawah tangan masih banyak terjadi dan dianggap sebagai hal yang tidak melanggar ketentuan aturan syara'. Permasalahan masih banyaknya nikah sirri di kalangan umat Islam yakni terletak pada pemahaman makna siapakah yang dimaksud Ulil Amri dalam ayat tersebut di atas.

Ada banyak pendapat mengenai siapakah ulil amri itu, antara lain ada yang menyampaikan bahwa ulil amri yakni kelompok Ahlul Halli Wa Aqdi dan ada pula pendapat yang menyampaikan bahwa ulil amri yakni pemerintah. Dalam goresan pena ini, penulis tidak ingin memperdebatkan wacana siapakah Ulil Amri itu. Yang perlu dikedepankan yakni bahwa pemahaman terhadap aturan Islam itu harus komprehensif sesuai dengan katakteristik aturan Islam itu sendiri.

Komprehensifitas (dari aturan Islam) itu sanggup dilihat dari keberlakuan aturan dalam Islam di mayarakat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Yusuf Qardhawi, yaitu bahwa: Hukum tidak ditetapkan hanya untuk seseorang individu tanpa keluarga, dan bukan ditetapkan hanya untuk satu keluarga tanpa masyarakat, bukan pula untuk satu masyarakat secara terpisah dari masyarakat lainnya dalam lingkup umat Islam, dan ia tidak pula ditetapkan hanya untuk satu bangsa secara terpisah dari bangsa-bangsa di dunia yang lainnya, baik bangsa penganut agama ahlulkitab maupun kaum penyembah berhala (paganis).

Dalam konteks ini perlu kiranya memahami budi budi aturan pada ayat tersebut di atas secara komprehensif. Oleh lantaran itu, pendekatan terhadap budi budi makna Ulil Amri dalam hubungannya dengan kewajiban pencatatan perkawinan bagi umat Islam, sanggup kita pahami bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu yakni merupakan produk legislasi nasional yang proses pembuatannya melibatkan banyak sekali unsur mulai dari Pemerintah, DPR, Ulama dan kaum arif pintar serta para hebat lainnya yang keseluruhannya merupakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dengan demikian, apabila Undang-undang memerintahkan perkawinan harus dicatat, maka wajib syar'i hukumnya bagi umat Islam di Indonesia untuk mengikuti ketentuan undang-undang tersebut.

Pernikahan bagi umat Islam yakni sebuah keniscayaan dan ia merupakan sesuatu yang haq. Oleh lantaran ijab kabul yakni suatu kebenaran (haq) dalam Islam, maka perlu ada nizham atau system aturan yang mengaturnya. Sungguh sangat relevan saya nukilkan Atsar dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a.:

الحق بلا نظام سيغلبه الباطل باالنظام

Artinya : Sesuatu yang baik tanpa administrasi yang baik akan dikalahkan oleh kebatilan dengan administrasi yang baik.

No comments:

Post a Comment