Sunday, 29 September 2019

Jadi Arif Antara Tulus Dan Riya? Mana Yang Kita Pilih?


Antara Ikhlas dan Riya? Mana Yang Kita Pilih?. Dari Amirul mu’minin Umar bin Al-Khotthob rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya amalan-amalan itu menurut niatnya dan bergotong-royong bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya yakni kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya alasannya yakni untuk menggapai dunia atau perempuan yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhari: 1).
Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau seandainya saya menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka saya akan mengakibatkan hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin Niyyaat di setiap bab” (Jami’ul Ulum 1/8).

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini yakni sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu menurut niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat perkara-perkara yang gres dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia tertolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal terang dan yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9).

Sesungguhnya pembahasan wacana tulus yakni pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid yakni inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah mendapatkan kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).

Maka kasus apa saja yang merupakan kasus agama Allah jikalau hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jikalau diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, alasannya yakni Allah tidak mendapatkan amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang beliau syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:

Allah berfirman “Aku yakni yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang berzakat suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang beliau syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan ia yakni hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan beliau dan ksyirikannya”).

Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ disini yakni nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga meliputi seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan tubuh dan amalan harta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).

No comments:

Post a Comment