Monday, 17 December 2018

Jadi Pintar Anak Hasil Di Luar Nikah? Bagaimana Status Nasab Dan Hak Warisnya?


Anak Hasil di Luar Nikah? Bagaimana Status Nasab dan Hak Warisnya?. Sering kali ditemui disekitar kita atau sekedar mendengar gosip di banyak sekali gosip ditelevisi dan lainnya, wacana seorang perempuan yang hamil di luar nikah. Hal ini sanggup disebabkan dari banyak hal, salah satunya lantaran kurangnya kontrol orang tua, kurangnya pendidikan agama, dan lain sebagainya.

(si pria) Ada yang pribadi bertanggung jawab dengan cara menikahi wanitanya, ada juga yang tidak sama sekali malah kabur entah kemana. Hal ini tentu akan memperlihatkan imbas jelek terhadap perempuan dan anak yang sedang dikandungnya, baik secara aturan syariat islam atau aturan negara.

Yang menjadi duduk kasus dan perlu dipertanyakan ialah bagaimana status nasab dan hak waris si anak nanti ketika beliau lahir? Yuk kita intip klarifikasi dari pada ulama / tokoh Jam'iyah Nahdlatul Ulama berikut ini.

Jawaban
Setiap anak yang lahir mempunyai hak untuk dilindungi secara aturan dengan status yang jelas, anak ini sanggup meraih hak-hak lainnya sebagai warga negara yang sama di depan hukum.

Adapun perihal status perwalian, nasab, nafkah, dan hak waris anak di luar nikah, para ulama berbeda pendapat. Masalah ini juga diangkat dalam lembaga Munas Alim Ulama NU di Lombok pada final tahun 2017.

Peserta Munas Alim Ulama NU di Lombok 2017 mengartikan anak di luar nikah sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan perkawinan yang sah berdasarkan aturan dan agama.

Peserta Munas Alim Ulama NU mengikuti tafshil dalam rumusan aturan fikih mengenai duduk kasus ini. Pertama, kalau perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku aturan nasab, wali, waris, dan nafkah.

Kedua, kalau perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada tafsil (rinci):

  1. Jika anak (janin) tersebut lahir pada ketika ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja;
  2. jika anak tersebut lahir sesudah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) kalau (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari komitmen nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya. Tetapi (b) kalau lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak itu tidak sanggup bernasab kepada suami ibunya.

Mereka mengutip salah satunya keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut:

فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ

Artinya, "Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai  persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzlna meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan kalau lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini digunakan oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya sesudah hukuman had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mempunyai budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi kalau lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak sanggup dinisbahkan kepadanya".

(Lihat Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII, halaman 162).

Lalu bagaimana pandangan NU terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait duduk kasus ini?

Sebagaimana diketahui bahwa MK memutuskan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai korelasi perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang sanggup dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain berdasarkan aturan mempunyai korelasi darah, termasuk korelasi perdata dengan keluarga ayahnya.”

Peserta Munas NU 2017 memandang bahwa putusan MK tidak sepenuhnya bertentangan dengan rumusan aturan fikih.

Demikian agar sanggup menambah wawasan anda. Amin...

Referensi: www.nu.or.id

No comments:

Post a Comment