Monday, 14 October 2019

Jadi Cendekia Makalah Budaya Religi Di Sekolah


A. Budaya Religius di Sekolah. Dari sekian banyak nilai yang terkandung dalam sumber pedoman Islam, nilai yang mendasar ialah nilai tauhid. Ismail Raji al-Faruqi, menformulasikan bahwa kerangka Islam berarti memuat teori-teori, metode, prinsip dan tujuan tunduk pada esensi Islam yaitu Tauhid[1]. Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam dalam penyelenggarannya harus mengacu pada nilai mendasar tersebut.

Nilai tersebut memperlihatkan arah dan tujuan dalam proses pendidikan dan memperlihatkan motivasi dalam acara pendidikan[2]. konsepsi tujuan pendidikan yang mendasarkan pada nilai Tauhid berdasarkan an-Nahlawi disebut ”ahdaf al-rabbani”, yakni tujuan yang bersifat ketuhanan yang seharunya menjadi dasar dalam kerangka berfikir, bertindak dan pandangan hidup dalam sistem dan acara pendidikan.

Saat ini, perjuangan penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah dihadapkan pada aneka macam tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda-beda.

Oleh lantaran itu, pembelajaran agama diharapkan menerapkan prinsip-prinsip keberagaman sebagai berikut;

  1. Belajar Hidup dalam Perbedaan
  2. Membangun Saling Percaya (Mutual Trust)
  3. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)
  4. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
  5. Terbuka dalam Berfikir
  6. Apresiasi dan Interdepedensi
  7. Resolusi Konflik.

Strategi dalam Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah.


1. Terbentuknya Budaya Religius di Sekolah.


Secara umum budaya sanggup terbentuk secara prescriptive dan sanggup juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Yang pertama ialah pembentukan atau terbentuknya budaya religius sekolah melalui penurutan, peniruan, penganutan dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau dari luar pelaku budaya yang bersangkutan.

Yang kedua ialah pembentukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya, dan bunyi kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau kepercayaan dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atau pengkajian trial and error dan pembuktiannya ialah peragaan pendiriannya tersebut. itulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan.[6]

2. Strategi Pengembangan PAI dalam Mewujudkan Budaya Religius Sekolah.


Menurut Tasfir, taktik yang sanggup dilakukan oleh para praktisi pendidikan untuk membentuk budaya religius sekolah, diantaranya melalui:

  1. Memberikan teladan (teladan)
  2. Membiasakan hal-hal yang baik
  3. Menegakkan disiplin
  4. Memberikan motivasi dan dorongan
  5. Memberikan hadiah terutama psikologis
  6. Menghukum (mungkin dalam rangka kedisiplinan)
  7. Penciptaan suasana religius yang besar lengan berkuasa bagi pertumbuhan anak.[7]

Dengan demikian secara umum ada empat komponen yang sangat mendukung terhadap keberhasilan taktik pengembangan PAI dalam mewujudkan budaya religius sekolah, yaitu: pertama, kebijakan pimpinan sekolah yang mendorong terhadap pengembangan PAI; kedua, keberhasilan kegiatan berguru mengajar PAI di kelas yang dilakukan oleh guru agama; ketiga, semakin semaraknya kegiatan ekstrakurikuler bidang agama yang dilakukan oleh pengurus OSIS khususnya Seksi Agama; dan keempat, pinjaman warga sekolah terhadap keberhasilan pengembangan PAI.

Sedangkan taktik dalam mewujudkan budaya religius di sekolah, meminjam teori Koentjaraningrat ihwal wujud kebudayaan, meniscayakan upaya pengembangan dalam tiga tataran, yaitu tataran nilai yang dianut, tataran praktik keseharian, dan tataran simbol-simbol budaya.[8]

Adapun taktik untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah sanggup dilakukan melalui:

  1. Power strategi, yakni taktik pembudayaan agama di sekolah dengan cara memakai kekuasaan atau melalui people’s power, Dalam hal ini tugas kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat lebih banyak didominasi dalam melaksanakan perubahan
  2. Persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah; dan
  3. Normative re-educative. Norma ialah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education (pendidikan). Normative digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang) untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir warga sekolah yang usang dengan yang baru.

Pada taktik pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan punishment. Allah swt memperlihatkan teladan dalam hal Shalat semoga insan melaksanakan setiap waktu dan setiap hari, maka dibutuhkan eksekusi yang sifatnya mendidik, hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw. ”Perintahkanlah kepada belum dewasa kalian untuk salat saat umur mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka risikonya (tidak mau salat) saat umur mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”.[10]

Sedangkan pada taktik kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan dan pendekatan persuasif atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus dengan memperlihatkan alasan dan prospek baik yang sanggup meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya sanggup berupa agresi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni menciptakan agresi atas inisiatif sendiri, jenis dan arah ditentukan sendiri, tetapi membaca munculnya aksi-aksi semoga sanggup ikut memberi warna dan arah perkembangan. [11]

Makalah Budaya Religi di Sekolah

DAFTAR PUSTAKA
  1. Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of knowledge: General Principles and Workplan, (Washington DC., International institute of Islamic Thoungt, 1982) 34-36
  2. J.S. Brubacher, Modern Philoshophy of Education (Tata Mc. Graw Hill, Publishing, Co. Ltd., New Delhi, Edisi ke-4) : 96
  3. al-Qur’a>n, 2 (al-Baqarah): 208.
  4. Muhaimin, 1999. Paradigma Pendidikan Islam, 294.
  5. Ibid.
  6. Talizuhu Ndara, 2005. Teori Budaya Organisa .(Jakarta: Rineke Cipta) 24.
  7. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, ( Bandung: Remaja; Rosda Karya, 2004), 112.
  8. Koentjaranindrat, ”Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan” dalam Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 157.
  9. Hickman dan Silva () (dalam Purwanto, Budaya Perusahaan, (Yogyakarta Pustaka Pelajar: 1984), 67.
  10. HR. Ahmad, no. Hadith 6689
  11. Muhaimin, 160-167.

No comments:

Post a Comment